source: begajol.com |
Banyak orang bilang, jika kita mendaki gunung, maka karakter
asli kita akan terlihat. Baik sadar maupun tidak sadar, kita akan menjadi diri
kita yang sesungguhnya. Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkan itu. Saat
ini yang kurasakan hanyalah rasa dingin yang sangat menusuk. Terasa hembusan
angin yang tidak biasa ku dapatkan di tengah kota yang padat.
Surya Kencana, ada disini aku sekarang. Sedang memandangi
puncak Gunung Gede yang menjulang di depan ku sambil menunggu nasi matang.
Pohon edelweiss bertebaran di alun-alun Surya Kencana. Banyak.
Amat banyak. Berdiri rapuh meski dijuluki "bunga cinta abadi". Tapi
memang tidak ada yang abadi di dunia ini bukan?
Melihat teman-temanku yang sedang asyik mengabadikan fotonya
di antara edelweiss rasanya seperti melihat anak kecil yang menemukan mainannya
yang telah lama hilang. Seketika ku melihat ada seekor elang yang terbang
diatas kami. Ah, Teman temanku. Aku ingat ketika kami menjuluki diri kami elang.
Elang yang terbang bebas di atas biru lazuardi.
Ku pandangi mereka satu persatu. Nabilah, perempuan ekspresif
dan berpola pikir aneh. Fajar, bocah tengik berbadan besar. Eki, lelaki
berkacamata yang selalu menganggap dirinya tampan. Dan Agung, yang terbijak
diantara kami. Lalu kulihat diriku sendiri dari pantulan air sungai yang
mengalir tenang di lembah ini. Siapa aku?
Tak terasa langit telah memperlihatkan senja-nya yang sangat
indah. Pancaran sinar matahari yang berwarna keemasan menghiasi langit Surya
Kencana. Nasi yang tadi kumasak pun sekarang sudah tanak. Ku panggil
teman-temanku dan ku ajak mereka masuk
ke tenda untuk menyantap makanan yang telah kusiapkan. Tidak terlalu istimewa,
hanya nasi hangat bertaburkan abon sapi pedas diatasnya. Mereka masuk satu
persatu, mencari posisi paling nyaman untuk menyantap makanannya. Wajah yang
berpeluh terlihat sangat ceria. Delapan jam kami lewati untuk sampai di tempat
ini. Tapi apakah kami masih berani memikirkan rasa lelah setelah kami bisa
menikmati indahnya Puncak Gunung Gede.
Dingin semankin lama semakin menusuk, dan kami pun berencana
untuk menghangatkan tubuh di depan api unggun. Disusunlah kayu-kayu yang telah
kami kumpulkan tadi siang. Bertumpuk menyilang antara satu dan yang lainnya.
Agung yang bertugas sekarang. Sambil menunggu api menyala, aku mengambil harmonica
dari dalam tas pinggang pemberian ayahku. Bukan, bukan aku yang akan
memainkannya. Fajarlah yang akan memainkan harmonika itu. Alunan hutan. Itulah
yang kurasakan saat mendengarnya memainkan harmonica.
Api pun menerangi malam dengan diiringi alunan nada nada yang
tercipta oleh harmonica yang dimainkan Fajar. Saat ia memainkan musiknya, alam
seperti berhenti berbicara. Mereka seakan-akan menyimak apa yang dimainkannya.
Canda tawa mengiringi kami yang sedang menikmati keindahan suasana malam di
Surya Kencana.
Sambil berangkulan, kami menengadah ke atas langit kelam yang
disinari oleh pantulan cahaya bulan. Mengingat kembali mengapa kami bisa
bersama. Merasa berterimakasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dan
menjadikan kami anak alam-Nya. Puncak pertamaku, tak kusadari setetes airmata
telah membasahi pipiku.
Makan sudah, merenung
pun sudah. Apalagi yang kurang? Tidur. Ya, rehat sejenak apa salahnya? Bunyi
ranting-ranting terbakar di luar tenda terasa begitu menghangatkan. Ditemani
deru angin lembah yang terus menerpa tenda kami. Alam bagaikan ibu yang sedang
meninabobokan kami. Tapi rasa kantuk tak kunjung datang kepadaku. Rasa senang
yang begitu membuncah seakan tak ingin pergi. Betapa baiknya Tuhan kepadaku.
Mengizinkanku untuk bertemu mereka dan dapat menikmati pemandangan yang amat
indah di depan mataku. Ini belum seberapa, masih banyak ciptaan-ciptaan lainnya
yang mungkin hanya bisa kulihat dibalik layar kaca. Detail-detail yang unik di
setiap ciptaan-Nya, selalu membuatku tak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Oh
Kekasihku, rasa terima kasih ku tak akan pernah habis ku ucapkan untuk-Mu.
#ceritafiksi #deskripsisuasana #hasildiskusisamaIbrahimAnwar
1 comments
Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:
ReplyDelete“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.
Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.
Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.
Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.
Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”