Daily Life

Cerpen: Aku dan Para Elang di Lazuardi

11:02 pm

source: begajol.com

Banyak orang bilang, jika kita mendaki gunung, maka karakter asli kita akan terlihat. Baik sadar maupun tidak sadar, kita akan menjadi diri kita yang sesungguhnya. Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkan itu. Saat ini yang kurasakan hanyalah rasa dingin yang sangat menusuk. Terasa hembusan angin yang tidak biasa ku dapatkan di tengah kota yang padat.
Surya Kencana, ada disini aku sekarang. Sedang memandangi puncak Gunung Gede yang menjulang di depan ku sambil menunggu nasi matang.
Pohon edelweiss bertebaran di alun-alun Surya Kencana. Banyak. Amat banyak. Berdiri rapuh meski dijuluki "bunga cinta abadi". Tapi memang tidak ada yang abadi di dunia ini bukan?
Melihat teman-temanku yang sedang asyik mengabadikan fotonya di antara edelweiss rasanya seperti melihat anak kecil yang menemukan mainannya yang telah lama hilang. Seketika ku melihat ada seekor elang yang terbang diatas kami. Ah, Teman temanku. Aku ingat ketika kami menjuluki diri kami elang. Elang yang terbang bebas di atas biru lazuardi.
Ku pandangi mereka satu persatu. Nabilah, perempuan ekspresif dan berpola pikir aneh. Fajar, bocah tengik berbadan besar. Eki, lelaki berkacamata yang selalu menganggap dirinya tampan. Dan Agung, yang terbijak diantara kami. Lalu kulihat diriku sendiri dari pantulan air sungai yang mengalir tenang di lembah ini. Siapa aku?
Tak terasa langit telah memperlihatkan senja-nya yang sangat indah. Pancaran sinar matahari yang berwarna keemasan menghiasi langit Surya Kencana. Nasi yang tadi kumasak pun sekarang sudah tanak. Ku panggil teman-temanku dan ku ajak  mereka masuk ke tenda untuk menyantap makanan yang telah kusiapkan. Tidak terlalu istimewa, hanya nasi hangat bertaburkan abon sapi pedas diatasnya. Mereka masuk satu persatu, mencari posisi paling nyaman untuk menyantap makanannya. Wajah yang berpeluh terlihat sangat ceria. Delapan jam kami lewati untuk sampai di tempat ini. Tapi apakah kami masih berani memikirkan rasa lelah setelah kami bisa menikmati indahnya Puncak Gunung Gede.
Dingin semankin lama semakin menusuk, dan kami pun berencana untuk menghangatkan tubuh di depan api unggun. Disusunlah kayu-kayu yang telah kami kumpulkan tadi siang. Bertumpuk menyilang antara satu dan yang lainnya. Agung yang bertugas sekarang. Sambil menunggu api menyala, aku mengambil harmonica dari dalam tas pinggang pemberian ayahku. Bukan, bukan aku yang akan memainkannya. Fajarlah yang akan memainkan harmonika itu. Alunan hutan. Itulah yang kurasakan saat mendengarnya memainkan harmonica.
Api pun menerangi malam dengan diiringi alunan nada nada yang tercipta oleh harmonica yang dimainkan Fajar. Saat ia memainkan musiknya, alam seperti berhenti berbicara. Mereka seakan-akan menyimak apa yang dimainkannya. Canda tawa mengiringi kami yang sedang menikmati keindahan suasana malam di Surya Kencana.
Sambil berangkulan, kami menengadah ke atas langit kelam yang disinari oleh pantulan cahaya bulan. Mengingat kembali mengapa kami bisa bersama. Merasa berterimakasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dan menjadikan kami anak alam-Nya. Puncak pertamaku, tak kusadari setetes airmata telah membasahi pipiku.
Makan sudah, merenung pun sudah. Apalagi yang kurang? Tidur. Ya, rehat sejenak apa salahnya? Bunyi ranting-ranting terbakar di luar tenda terasa begitu menghangatkan. Ditemani deru angin lembah yang terus menerpa tenda kami. Alam bagaikan ibu yang sedang meninabobokan kami. Tapi rasa kantuk tak kunjung datang kepadaku. Rasa senang yang begitu membuncah seakan tak ingin pergi. Betapa baiknya Tuhan kepadaku. Mengizinkanku untuk bertemu mereka dan dapat menikmati pemandangan yang amat indah di depan mataku. Ini belum seberapa, masih banyak ciptaan-ciptaan lainnya yang mungkin hanya bisa kulihat dibalik layar kaca. Detail-detail yang unik di setiap ciptaan-Nya, selalu membuatku tak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Oh Kekasihku, rasa terima kasih ku tak akan pernah habis ku ucapkan untuk-Mu.

#ceritafiksi #deskripsisuasana #hasildiskusisamaIbrahimAnwar

You Might Also Like

1 comments

  1. Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:

    “Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.

    Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.

    Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

    Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

    Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.

    Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

    ReplyDelete

SUBSCRIBE


unemenel

unemenel